Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana BPH (Bagian-5)
Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Q-max), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran(9,14). Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi.
Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor(2). Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut:
- Qmax < 10 ml/detik 90% BOO
- Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
- Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik setelah(13). Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya BOO(24).
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urine >150 mL dan diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO harus diukur beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada tidak-nya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali (25,26).
Pemeriksaan residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL (9).
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia (9,14).
Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna (9). Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama (25).
Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi (9). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih (28). Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi (13).
Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak (Wasson et al 1995)(29), demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal (5,10,12-14).
Pencitraan traktus urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:
(a) kelainan pada saluran kemih bagian atas,
(b) divertikel atau selule pada buli-buli,
(c) batu pada buli-buli,
(d) perkiraan volume residual urine, dan
(e) perkiraan besarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain (9).. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia (5,9-14).
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan (10). Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra.
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani terapi: (a) inhibitor 5-Į reduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan stent, (d) TUIP atau (e) prostatektomi terbuka. Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS) (5,10,13). Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma prostat (5).
Post a Comment for "Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana BPH (Bagian-5)"
Klik tulisan subscribe berwarna merah ini: SUBSCRIBE
terlebih dahulu sebelum membuat komentar.